Ki Ngadiyun Hadisuyono, penggemar wayang di seputaran Barlingmascakeb pasti mengenal dalang senior ini. Dalang Diyun adalah dalang senior yang masih dihormati oleh dalang muda dan juga masih mempunyai banyak penggemar, terbukti masih banyak yang nanggap beliau, walau sudah tak seramai jaman keemasannya dahulu.
Tinggal di Desa Karangsari Kecamatan Adipala yang secara Geografis berada di tengah-tengah kawasan yang dibatasi oleh jalan raya Kesugihan – Maos di sebelah utara, Sungai Serayu di barat, jalur Cantelan – Adipala di selatan dan jalan penghubung Maos – Adipala di timur. Desa ini suasananya tenang dan asri, tidak terganggu suara kendaraan besar dan kereta api.
Tinggal berdua dengan sang Istri membuat rumah beliau ini terasa sepi. Keseharian Ki Diyun ini adalah bertani ketika tidak ada job pentas wayang. Bukan hal baru, sejak dahulu sebelum mendalangpun beliau sudah bertani, menderes kelapa dan berjualan kangkung ke pasar-pasar.
Bertamu ke rumah beliau, suarana akrab langsung terasa. Tak ada kesan bahwa beliau adalah termasuk dalang kondang. Beliau juga tampak antusias becerita, terlebih lagi masalah pewayangan. Tak cukup sehari untuk mendengarkannya.
Berikut sedikit kisah beliau dari jaman dahulu sampai sekarang ini:
Ki Ngadiyun lahir tahun 1949, berarti seakarang menginjak usia 66 tahun. Bersekolah hanya sampai kelas 3, asal bisa baca tulis. Aktifitas sehari-hari sebagai anak desa adalah bertani dengan berbagai macam kegiatannya.
Sedari kecil suka menonton wayang, dan selama menonton wayang tersebut beliau mengikuti dari awal sampai akhir. Dan beliau ini mengakui tidak menguasai gendhing. Jika ditanya siapa guru mendalangnya? Beliau akan menjawab bahwa dia mendalang tanpa guru alias otodidak. Dari hasil pengamatannya tersebut, akhirnya beliau melakukan Gebyag atau mendalang untuk pertama kali semalam suntuk pada tahun 1970 sewaktu berumur 21 tahun.
Pada waktu itu yang menanggap adalah PNI (Partai Nasional Indonesia) dalam rangka ulang tahun partai tersebut. Setelah gebyagnya tersebut, nama beliau mulai dikenal dan tergolong dalang yang “laku”. Masa keemasan beliau terjadi antara tahun 80-an, 90-an dan terbilang surut ketika Pak Harto lengser di tahun 1998. Wajar saja kala itu terjadi krisis moneter yang sangat berpengaruh pada kemampuan ekonomi masyarakat. Namun beliau menambahkan bahwa sosok Suharto adalah presiden yang perduli wayang dan tentunya dalang.
Di masa keemasannya, Pak Diyun bahkan bisa dalam sebulan full mendalang setiap harinya. Tak cuma di wilayah Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara atau Kebumen namun sampai Tegal bahkan Jakarta. Tentang kelarisannya ini beliau bisa disejajarkan dengan Ki Sugino Siswocarito dan Ki Alip Suwarjono. Walau secara nama, nama Ki Ngadiyun bisa dibilang kalah tenar.
Jika ditanya siapa dalang idolanya, tak lain dan tak bukan seperti halnya dalang sekarang, yaitu Ki Sugino Siswocarito.
Walau telah menjadi dalang tenar, namun beliau mengaku tidak punya wayang apalagi gamelan. Semuanya beliau serahkan kepada penyedia jasa. Padahal jaman dulu, dalang di pelosok saja punya wayang dan gamelan. Jadi Ki Dalang tinggal datang, pentas dan dibayar. Katanya hal itu lebih praktis urusannya, tanpa mengurusi unit wayang, kelir, gamelan, niyaga dan sinden.
Kembali ke aktifitas seahari-hari yaitu bertani, pada awal ketenarannya, di wilayah Binangun Pak Diyun Dikenal dengan nama dalang Kangkung. Karena beliau ini di pasar Binangun lebih dikenal sebagai penjual kangkung.
Saya menanyakan pentas yang sukses itu seperti apa? Beliau menyabut dua lakon favoritnya, yaitu Wiratha Parwa dan Abiyasa Sayembara. Jika penonton kedua lakon tersebut bisa terbawa bahkan menangis, maka sukseslah pentas beliau.
Masih banyak penjelasan beliau mengenai seni pedhalangan, seni, buadaya jawa dan sebagainya yang tidak tertulis disini karena luasnya.
Semoga informasi sedikit ini bisa berguna
Leave a Reply