Pembedaan Secara Spesifik Wayang Yogyakarta Dan Surakarta
Sumber : Wayang Nusantara (Indonesian Shadow Puppets)
WAYANG DEWA DAN PENDETA
Dalam buku ini, boneka-boneka wayang akan di bagi menjadi tujuh bagian. Yang pertama adalah wayang dewa dan pendeta, wayang putren, wayang ksatria dan raja, wayang kera, wayang raksasa, wayang ricikan seperti hewan dan gunungan dan kemudian wayang punakawan.
Khusus untuk wayang Dewa, dan pendeta yang akan dibahas di bagian ini. Banyak sekali perbedaan yang sangat signifikan yang dapa kita lihat dari bentuk wayang tersebut secara keseluruhan. Di sini dapat kita dapati dalam wayang Batara Guru, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu dan Batara Narada. Tentu masih banyak perbedaan yang bisa kita temui pada dewa-dewa lainnya. Namun di sini saya hanya ingin menunjukkan perbedaan yag terdapat pada dewa-dewa yang cukup terkenal di dunia pedalangan saja.
Batara Guru gaya Surakarta dan Yogyakarta
Gambar di atas adalah merupakan sebuah perbedaan yang sangat menonjol yang dapat kita lihat. Secara mudah kita bisa menyimpulkan bahwa wayang Batara Guru gaya Yogyakarta memiliki tangan yang dapat di gerakkan. Itu memang sebuat tanda yang sangat jelas terlihat namun bukan sebuah kepastian. Bukan sebuah kepastian karena gaya Yogyakarta pun memiliki wayang Batara Guru yang tubuh dan tangannya bersatu dan tak dapat digerakkan seperti yang terlihat di bawah ini dan mengenalkan topong (semacam mahkota) seperti gaya Surakarta yang menganut gaya wayang Kyai Inten. Pada umumnya hanya dalang-dalang kraton Yogyakarta saya yang menggunakan wayang Batara Guru seperti yang tampak di atas.
Yang dapat dilihat dari sini adalah wayang Yogyakarta memiliki perawakan yang lebih gemuk dan lebih pendek sehingga terlihat gempal dan ini menjadi patokan untuk wayang-wayang lainnya.
Bagaimana jika kita berhadapan dengan wayang bertubuh gemuk? Tentu kedua gaya pun memiliki jenis wayang yang gemuk pula seperti maha patih kayangan, Batara Narada.
Secara umum, Batara Narada gaya Yogyakarta berpakaian sederhana dan tidak mengenakan jubah serta keris di pinggang bagian belakangnya. Selain itu mulut Batara Narada gaya Yogyakarta lebih kecil jika di bandingkan dengan wayang Batara Narada gaya Surakarta. Selain itu Batara Narada dari kedua gaya dapat dibedakan juga dengan bentuk tangannya. Jika pada gaya Surakarta tangan depan Batara Narada menunjuk, maka dalam gaya Yogyakarta kedua tangan Batara Narada sama-sama menekuk jari manis dan jari tengahnya sehingga kedua jari tersebut menyentuh ibu jari (kitingan : red). Satu hal lagi, Batara Narada gaya Yogyakarta memiliki badan yang dapat kita bandingkan dengan salah seorang punakawan yaitu Semar.
Setelah Batara Guru dan Batara Narada dibahas di atas, kini mari kita lihat lebih lanjut ke Batara Indra dan dewa-dewa lainnya.
Untuk Batara Indra, yang merupakan dewa langit dan raja dari para bidadari dari gaya Surakarta menggunakan mahkota sebagai hiasan kepala dan mengenakan jubah lengkap, keris dan sepatu. Konon sepatu yang mulai diperkenalkan pada wayang-wayang gaya Surakarta mulai banyak kita jumpai pada wayang wayang Yogyakarta seperti wayang Batara Indra milik salah seorang dalang dari Yogyakarta, Ki Sukoco yang memakai jubah, keris dan sepatu.
Satu lagi hal yang perlu di perhatikan adalah Batara Indra Gaya Surakarta memiliki jenggot yang bermula dari dagu sampai pada pangkal leher, sedang pada gaya Yogyakarta sangan jarang ditemui wayang dengan jenggot seperti yang terlihat pada Batara Indra Gaya Surakarta.

Untuk wayang Batara Brahma, sebuah bentuk fisik yang akan sangat jelas dijumpai perbedaannya terdapat pada muka dari dewa penguasa Api tersebut. Batara Brahma gaya Yogyakarta memiliki wajah dan tubuh yang mirip dengan Gatotkaca atau Antareja. Sedang wayang kulit gaya Surakarta lebih condong untuk menunjukkan tali persaudaraan anatar Batara Sambu, Batara Indra, dan Batara Brahma yang menggambarkan Batara Brahma dengan wajah mirip dengan Barata Indra namun mendongak. (Juga Brahma ini mirip Baladewa : red)
Selain itu suatu hal yang umum yang dapat ditemui melalui Batara Brahma adalah wayang Batara Brahma yang umumnya di beri warna Merah, meskipun terkadang wajah Batara Brahma hanya di prada (warna emas). Seperti dewa-dewa gaya Surakarta lainnya, Batara Brahma juga menggunakan jenggot dari dagu hingga pangkal leher. Berbeda dengan gaya Surakarta, gaya Yogyakarta pada umumnya memisah jenggot menjadi dua bagian, pada ujung dagu dan pangkal leher.
Berbeda dengan dewa-dewa sebelumnya, Batara Bayu gaya Surakarta dan Yogyakarta memiliki kemiripan. Kemiripan yang terdapat di sini adalah keduanya memiliki tubuh yang besar dan ukuran yang hampir sama dengan Raden Werkudara atau Bimasena pada masing-masing wilayah.
Perbedaan yang terlihat adalah, bila Batara Bayu gaya Yogyakarta memiliki pakaian yang sama dengan Werkudara ditambah sorban dan sampur (semacam kain yang ditaruh di pundak), Batara Bayu gaya Surakarta berpakaian lebih mewah. Pada gaya Surakarta, Batara Bayu menggunakan jubah layaknya dewa-dewa lainnya, keris di depan, sepatu, dan mahkota yang menandakan bahwa ia adalah raja dari segala jenis angin. Jenggot kembali perlu menjadi perhatian di sini. Batara Bayu gaya Surakarta ternyata juga menggunakan jenggot panjang dari dagu sampai pangkal leher sedang dari gaya Yogyakarta, Batara Bayu memiliki jenggot yang sama dengan Batara Brahma gaya Yogyakarta.
Demikianlah perbedaan-perbedaan yang dapat kita temui dalam pertokohan wayang-wayang dewa di Yogyakarta dan Surakarta secara umum.
Berpindah dari para dewa-dewa, kini kita akan membahan tokoh-tokoh pendeta yang eksis dalam pewayangan wayang kulit purwa. Tokoh-tokoh pendeta yang ada dalam pewayangan Surakarta pada umumnya menggunakan satu wayang saja untuk tokoh-tokoh yang kurang dikenal seperti Begawan Kesawawidi, Resi Padmanaba, Begawan Druwasa yang menggunakan wayang srambahan (wayang pinjaman untuk memainkan tokoh tertentu). Hanya tokoh seperti Begawan Abiyasa, Begawan Drona, Resi Bisma saja yang memiliki wayang khusus. Di bawah ini akan kita lihat bagaimana perbedaan wayang pendeta dan ciri khas dari masing-masing daerah.
Pada wayang Begawan Abiyasa di bawah ini ternyata kedua belah pihak sama-sama menggunakan jubah dan sorban. Ciri khas dari wayang gaya Yogyakarta yang dapat kita temui pada wayang pendeta ini adalah, Begawan Abiyasa pada gaya Yogyakarta memiliki tubuh yang lebih membungkuk dan mengenakan topong kethu (jenis topong) yang merupa kan ciri khas dari wayang gaya Yogyakarta terutama untuk pendeta dan beberapa dewa. Selain itu wayang pendeta gaya Yogyakarta juga dapat ditemui garida mungkur yang berada tepat setelah topong kethu. Dalam gambar di bawah, garuda mungkur memang kurang jelas, namun ini akan dibahas dalam bab selanjutnya.
Layaknya para dewa, Begawan Abiyasa dari Surakarta mengenakan jubah, sorban, dan pernik-pernik lainnya sehingga terlihat lebih mewah dari gaya Yogyakarta. Wajah dari sang pendeta pun terlihat hanya menunduk secara normal.
Setelah kita mengamati kedua bentuk wayang di atas, jangan terlalu cepat mengambil keputusan tentang bungkuknya seorang begawan atau resi menjadi ciri khas Yogyakarta karena gaya Surakarta pun memiliki begawan bungkuk. Yang di gunakan sebagai wayang srambahan. Ciri-ciri khusus pada wayang begawan bungkuk gaya Surakarta adalah bentuk wajah yang sudah mulai melenceng dari bentuk wajah seperti Begawan Abiyasa ataupun Batara Bayu. Selain itu wayang ini juga hanya satu tangan saja yang dapat di gerakkan, sebuah kontroversi dalam bentuk pakem wayang di Surakarta karena pada umumnya kedua tangan pada wayang Surakata dapat digerakkan.
Jika pada wayang dewa, jenggot menjadi identitas khusus, makan begitu pula dengan wayang begawan atau pendeta dari Surakarta kendati hal ini bukan merupakan sebuah patokan yang dapat di pegang selamanya mengingat wayang Yogyakarta juga mengalami perkembangan.
Kluban.net :“Dilihat dari wujudnya, wayang dewa Gagrag Solo berkaki “jangkahan” yaitu posisi kaki depan dan belakang berjauhan. Sedangkan wayang dewa Gagrag Jogja terbagi dua macam, yaitu jangkahan untuk wayang gagah semacam Bayu dan Brahma sementara untuk wayang bermuka halus semacam Indra, Wisnu dan bahkan Batara Guru berkain bokongan dengan tutup kepa surban dan bersampir, baik berbaju atau tidak.
Batara Kamajaya, Jogja (depan) – Solo (belakang)
Begitupun untuk wayang begawan, semacam Abiyasa dan ada juga Bisma, aslinya wayang bokongan yang diberi sampir dan bersorban serta berbaju.”
“Selain itu, Wayang dewa Jogja mirip wayang bukan dewa namun bersorban dan bersampir. Serperti Wisnu di atas, Gagrag Jogja sangat mirip dengan Kresna hanya beda di tutup kepala.”
terkait
Ternyata sy kok lebih familiar dg gaya Surakarta ya? Soalnya kenal awal dr gambar kecil kecil utk umbul mainan anak anak…….tks artikelnya …..nambah wawasan ttg wanda wayang
Sama.. saya orang Kediri, lebih familiar dengan wayang Solo ternyata..
Satu yang belum disebut tampaknya bahwa wayang gaya jogja adalah jangkahan (menari atau berjalan) sedang wayang solo adalah wayang berdiri, statis. Maka, kaki belakang wayang jogja agak terangkat dibandingkan wayang solo. mekaten.