Lakon Wayang – Bondan Paksa Jandu (Bagian 1)

Gendari, Sengkuni, Kurupati

Oleh : Nanang Wijayanto

Ketika Pandawa dan Kurawa masih muda, pernah bersama sama menjadi murid Resi Durna. Bedanya putra-putra Pandu mengikuti pelajaran dengan tekun sementara Kurawa seenaknya saja, terlebih merasa bahwa mereka adalah anak raja penguasa. Dengan didukung penuh oleh Sengkuni anak-anak Gendari selalu berusaha mencari lengahnya Pandawa untuk disingkirkan. Mereka menganggap kelima orang itu adalah penghalang jalan meraka untuk menguasai warisan kerajaan Astina

Pada suatu hari para Kurawa berbuat licik dengan memasukkan Bratasena ke dalam sebuah sumur. Sumur Jalatunda yang dalamnya tidak bisa diperkirakan. Bahkan dasar sumur juga tidak bisa diketahi. Di dalam sumur banyak terdapat hewan beracun. Kemudian mulut sumur ditutup dengan batu dan kayu oleh anak-anak Kurawa.

Wijakangka, Permadi, Pinten dan Tangsen melarikan diri karena dikejar-kejar oleh para Kurawa. Sengkuni dan para Kurawa merasa senang karena Bratasena sudah berhasil disingkirkan sedangkan Pandawa lain lari ke dalam hutan belantara. Penghalang menguasai Astina sudah tidak ada lagi

Tapi Jaka Pitana belum merasa puas.

“Paman, belum puas hatiku jika belum melihat mayat Bratasena, juga  Permadi, Wijakangka, Pinten dan Tangsen bisa melarikan diri. Kemarin itu kok bisa lepas itu bagaimana Paman?”

Jaka Pitana merasa kecewa karena tidak bisa memusnahkan seluruh Pandawa.

“Ya tapi dengan hilangnya Bratasena saja sudah menghilangkan kekuatan Pandawa Nak Pangeran.” Kata Sengkuni

“Kekuatan Pandawa itu cuma dua, Bratasena dengan Permadi. Bratasena jelas sudah mati di dalam Sumur Jalatunda. Kalo nggak mati karena jatuh, ya mati dipatuk ular atau kalajengking di sana. Tinggal Permadi nih, kita cari cara bagaimana menangkap Permadi. Kalo keduanya sudah mati, sangat mudah melenyapkan Wijakangka, Pinten dan Tangsen.” Tambah Sengkuni.

Dewi Gedari, Sengkuni, Jaka Pitono kemudian berembug mencari cara supaya Permadi, Wijakangka, Pinten dan Tangsen bisa muncul dari persembunyiannya.

“Dimas Trigantalpati, kamu carilah cara supaya Permadi dasn sodara-sodaranya bisa ketemu. Kalo sudah ketemu segera tangkap. Tapi semua dilakukan dengan cara yang lembut, jangan sampai Kakang Adipati Destrarastra tahu kalo tewasny para Pandhawa itu karena kamu putra-putraku,” pesan Dewi Gendari.

“Sendika Dawuh Kakang Mbok!” jawab Sengkuni.
“Untuk menangkap Permadi dan sodara-saodaranya, saya akan membangun pasar baru yang megah. Nani jika sudah ada pasar baru, pasti banyak orang yang berdatangan. Kurawa lalu menyebar intel untuk mengawasi Permadi, Wijakangka, Pinten lan Tangsen,” sambung Sengkuni.

Ide Sengkuni disetujui para Kurawa. Pasar baru banjur dibangun di wilayah Astina yang dinamakan Warana Rata. Isi pasar ada yang berjualan bermacam-macam barang dagangan, ada yang ngamen sulap, ngamen joged, dan lain-lain. Tak lama, kabar adanya Pasar Baru Astina sudah tersebar sampai negri tetangga, sampai banyak orang dari negari yang juga datang untuk mendangi pasar tersebut.

Di negri Mandura, Prabu Basudewa punya putra tiga yang masih muda. Yaitu Raden Kakrasana, aden Narayana, dan Dewi Bratajaya. Mendengar kabar bahwa di Negara Astina digelar pasar anyar, Bratajaya jadi kepengin mendatanginya.

“Kakang, kabar yang digawa mbok bakul sinambi wara, pasar baru di Negara Astina itui rame banget. Sampai banyak orang daria negara lain berdatangan ke sana. Aku kepengin ke sana, Kakang..!” kata Bratajaya pada Raden Kakrasana dan Narayana.

“Astina itu jauh, Dhi. Jalannya juga melawati hutan belantara. Tak usahlah jauh-jauh sampai Astina. Besok aku bilang Kanjeng Rama agar Mandura juga membangun pasar yang lebih bear.” Raden Kakrasana merayu adiknya agar urung minta pergi ke Astina.

“Nggak bakal lah Mandura bisa mengimbangi megahnya pasar anyar di Aastina, Kakang. Sekali ini permintaaku turuti ya Kakang…”
Kakrasana merasa kasihan dengan tangisan Bratajaya. Maka kemauannya lalu dituruti.

Ya sudah sekali iki aku turuti kemauanmu, Bratajaya. Tapi aku berpesan nanti jika sudah sampai Astina jaga perkataanmu. Kita tak boleh mengaku kalo putra Mandura.” Demikian pesan Kakrasana ke Narayana dan Bratajaya.

Bratajaya dan Narayana setuju. Ketika Pemuda itu lalu berangkat ke Warana Rata di negara Astina.

Bersambung

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*