
Pembuat wayang di wilayah Banyumas tercatat lumayan banyak. Tersebar di daerah-daerah dan umumnya berlokasi di desa. Dan uniknya antara mereka kebanyakan saling mengenal. Dan umumnya mereka secara ekonomi bisa dibilang tidak terlalu bagus.
Berkunjung ke rumah Bapak Kusnan atau dikenal di sekitarnya dengan nama Pak Bunder. Rumah sederhana berbahan kayu di desa Sibalung Kemranjen, sekitar 2 km ke barat dari Stasiun Kemranjen. Tampak di teras rumah tuanya, alat menatah dan menyungging wayang yang tampak sudah “kawakan” alias sudah menghasilkan banyak karya.
Di bagian atap tampak banyak burung berkicau yang meramaikan suasan pedesaan yang kadang diselingi suara Kereta Api yang melintas. Tampak pula sebuah wayang Wisanggeni gebingan/putihan yang belum selesai di tatah. Di depan rumah tampak motor bebek lawas yang kondisinya tak lagi mulus.
Membuka pembicaraan dan perkenalan, ternyata bapak satu ini senang bercerita. Membahas dunia pembuatan wayang, beliau tampak antusias. Walau tidak terlalu laris dan kesemuanya dikerjaan sendiri namun tetap saja ada pesanan yang datang, salah satunya dari Dalang Ki Tugino Guno Carito atau yang beken dengan Gino Gubugan.
Dan memang begitulah nasib penatah wayang di wilayah Banyumas.
Berpindah ke tetangga kecamatan namun beda kabupaten, walau bisa dibilang bersebelahan, di desa Bajing kecamatan Kroya saya bertemu Pak Rokhayat atau dikenal juga dengan nama Pak Tajum.
Sedikit lebih baik, Pak Rokhayat ini cukup laris pesanan wayangnya, diantaranya oleh dalang yang sedang ngetren, Kukuh Bayu Aji. Rumahnya pun sudah bertembok bata, tak lagi papan. Kendaraanya juga tergolong keluaran baru.
Sama juga, beliau ini tampak antusias ketika disinggung masalah pengrajin wayang lokal banyumasan.
Intinya nasibnya tidak ada yang memperhatikan, bila mengacu kepada Desa Pengrajin Wayang semacam di Manyaran Wonogiri dimana produksi wayang itu hanya semacam home industri, atau Sanggar-sanggar wayang di Solo dan Jogja. Pengraiin wayang di Banyumas dan sekitarnya bergerak sporadis, sendiri-sendiri mengakibatkan pemasaran produk yang sulit. Seperti yang pernah saya dengan dari keluhan Pak Sono, penatah wayang dari Mernek Kecamatan Maos.
Selama ini di sini hanya mengandalkan pesanan yang tak tentu dan waktu pengerjaan menjadi lama. Segala sesuatu dikerjakan sendiri, sementara karena wayang tak bisa diandalkan sebagai mata pencaharian utama, mereke juga punya pekerjaan lain. Bertani, beternak, seniman bahkan ada pula yang menjadi niyaga pentas wayang seperti Pak Sono Mernek dan Mas Yanto dari Sikampuh Kecamatan Kroya.
Berbeda dengan home industri ataupun sanggar wayang, ada pembagian tugas antara penyorek, penatah, penyungging atau finishing. Bahan baku juga “datang sendiri” dan para pembuat wayang adalah pekerja yang digaji, sehingga bisa menjadi mata pencaharian.
Selain itu perhatian pemerintah juga bisa dibilang tidak ada. Barangkali yang sedikit menerima “sentuhan” bantuan pemerinta adalah Pak Gondo Wasito dari Sokawera Patikraja dengan kelompok belajar Welulang Sari-nya.
Di sisi lain, adapula ketikdaterimaan dari pemesan, wayang produksi pengrajin lokal jika ditanyakan buatan mana, banyak yang menjawab “Solo”. Hal yang makin menenggelamkan nama pengarajin wayang Banyumas.
Leave a Reply