
Ki Seno Nugroho adalah dalang paling kondang di sekitar wilayah Yogyakarta.Dari jadwal pentasnya dalang ini memang tergolong laris. Animo penggemarnya jug tampak luar biasa di grup Facebook. Tapi itu di dunia maya, bagaimana dengan kenyataaannya?
Menyusuri dinginnya Jalan Kaliurang jam 11 malam, demi menyaksikan kiprah Ki Seno, menembus hawa dingin menusuk tulang, saya bermotor menuju daerah Ngaglik, Sleman yang notabene berada di daerah yang lebih tinggi daripada kota Yogyakarta. Perjalanan sekitar 6 kilometer menyusuri jalan yang lebar, sepi dan mulai menanjak. Sampai akhirnya di pertigaan tepat sebelum jembatan bengkong saya berbelok kiri menyusui jalan yang terasa “lebih kampung”
Tak terlalu jauh dari pertigaan, tampak orang dengan lightstick mengarahkan pengguna jalan sambil bertanya, “wayang”… “wayang” Ini dia yang saya cari. Berbelok beberapa kali akhirnya saya diarahkan oleh pemudi-pemudi berseragam batik untuk masuk area parkir yang tampak sudah penuh, sekalian membayar tarif parkir 3000 rupiah. Sepertinya mereka semacam karang taruna desa.
Sampai di lokasi tampak tarub dan penontonnya yang luar biasa banyaknya, sampai sulit untuk sedikit mengintip seperti apa panggung wayangnya. Hanya tampak jelas dari sebuah screen kecil di sisi kanan area tamu.
Rupanya sedang masuk adegan Limbuk-Cangik yang tentunya berisi campursari dan dagelan. Karena tampak belum ada tanda-tanda mulai adegan wayang, akhirnya saya beringsut mundur untuk mencari segelas kopi sebagai pengusir dingin dan kantuk. Kemudian bertemu dengan seorang teman penggemar wayang yang datang jauh dari Solo.
Ketika terdengar suluk pertanda mulai lagi adegan wayang, tampak penonton yang tadinya berjubel, berurutan meninggalkan lokasi. Memang sudah umum lebih banyak penonton campursari dan lawakan ketika pertunjukan wayang. Kecuali di daerah Banyumasan penonton bisa penuh sepanjang pentas, pertanda penonton wayang bukan campursari.
Setelah pergerakan pentonton sudah habis, tampak banyak kursi penonton yang kosong, akhirnya dapat tempat yang enak untuk menyaksikan kiprah sang dalang. Kali ini mengambil lakon Sadewa Krama.
Ki Seno Nugroho walaupun dalang jogja, namun paraga yang digunakan sebagain besar adalah wayang gaya Solo. Bahkan di simpingan pun kebanyakan wayang Solo-an. Suluknya pun gagrak Solo. Nah ketika menyuarakan wayang, baru terdengar gaya Jogjanya.
Sepanjang adegan, baik dialog antar tokoh maupun adegan perang, terselip guyonon yang mengocok perut. Ini gaya Jogja seperti Ki Hadi Sugito, gaya solo tidak seperti ini, lebih banyak serius. Memang untuk guyonoannya Gaya Jogja lebih bebas berekspresi. Suara dalang ketika suluk memang enak didengar, tidak semua dalang bisa seperti ini.
Tata panggung Ki Seno Nugroho saya bilang standar wayang klasik. Beda jika dibandingkan dengan Dalang Banyumas, Kukuh Bayu Aji dengan kelir lengkungnya yang sangat khas dan tampak “tidak biasa”. Sabet Ki Seno cukup bagus, cuma tidak menunjukkan perang rumit semacam gendiran, jadi belum tahu seberapa hebat skill sabetnya. Kebetulan yang berperang adalah Petruk melawan Kurawa, jadi tekniknya tidak terlalu menonjol, malah banyak banyolan dan perang lucunya.
Sound system yang dipakai juga cukup pas, beda dengan wayang Banyumasan yang saya anggap berlebihan dalam hal sound system. Hanya ada tiga pasang set pengeras suara (salon) yang keluaran suaranya tidak mengggelegar, jadi masih bisa ditangkap dengan telinga dengan baik.
menarik artikelnya mas..
kalau boleh tau, untuk melihat jadwal pertunjukan wayang di Jogja , bisa dilihat dimana ya mas ?
di bagian atas blog ini ada artikel jadwal wayang seluruh indoensia, namun masih dalam tahap pencarian sumber jadi belum terlalu lengkap
matur nuwun mas
banyak penonton campursari dan lawakan ketika pertunjukan wayang. Kecuali di daerah Banyumasan penonton bisa penuh sepanjang pentas, pertanda penonton wayang bukan campursari.
hmmmm…….